Selasa, 11 Maret 2008

Makan, Makan, Makaaan...

Note: Umumnya, gw gak pernah mau bahas soal sos-pol, tapi berhubung setiap hari dicekokin berita yang ituuu mulu akhirnya jadi gatel juga..

Kalo diitung-itung, hari-hari gw di jalan itu banyak abis buat ngurus satu urusan doang: makan. Nggak, gw nggak jualan makanan. Pasalnya semenjak memutuskan untuk nggak pake pembantu dan baby sitter, istri gw sering nggak sempet lagi masak karena ngurus anak. Ujung-ujungnya, hampir setiap lunch break dan waktu makan malam gw dan si motor banyak menghabiskan waktu strolling-strolling cari makanan buat di rumah. Segitu seringnya, sampe gw sama istri udah punya kode sendiri buat nentuin makannya apa:

Bini gw: (di telpon) "Ayah, makan siang pulang nggak?"
Gw: "Pulang. Makan apa ibu?"
Bini gw: "Nggak tau. Enaknya apa?"
Gw: "Atas aja gimana?"

Itu artinya di Jalan Gagak, deket kontrakan gw. Artinya menunya sekitar bakso, atau mi ayam.

Bini gw: "Nggak ah. Lagi bosen mi ayam."
Gw: "Ya udah, klo gitu sepanjang jalan kenangan aja deh."

Itu artinya, sekitar jalan Jalaprang. Menunya antara ayam goreng tulang lunak, masakan sunda, atau ayam bakar.

Bini gw: "Ya udah deh, itu aja. Nasinya gak usah ya yah, udah masak di rumah."
Gw: "Oke, ayah jalan dulu."
Bini gw: "Ayah, jangan lupa yah.. biasa.."

Itu artinya, pas pulang mampir dulu beli yoghurt yang di deket kantor. Rasa stroberi.

Emang sih, rada boros juga sebenernya. Cuman klo udah urusan perut, yah mau gimana lagi? Namanya makan khan udah kebutuhan dasar manusia.. Komposisi idealnya 3 kali sehari, 4 sehat 5 sempurna. Kayak mobil, biar modelnya ferari klo bensinnya kosong yan cuman jadi pajangan aja di showroom. Emang, kadang-kadang kita juga usahain buat nyempetin waktu masak di rumah, biar hemat dikit -- apalagi pas akhir-akhir bulan. Itu juga gak neko-neko kok, paling cuman berkisar 1-2 macem menu, berkisar dari sayur, ayam goreng, telor goreng, tempe goreng, tahu goreng dan segala macem digoreng -- cepet masaknya, murah dan gampang. Tinggal modal ekstra kecap atau sambel.

Tapi belakangan ini, makan jadi priveledge yang gak banyak orang bisa nikmatin. Alasan utama: harga sembako naik. Liat aja di tivi, harga cabe dari 15.000 sekilo, naik jadi 20.000 sekilo. 20.000 sekilo boss. Hampir sama dengan 2 kali makan tuh.. mending sekalian aja makan cabe satu piring ampe kenyang. Makannya friends, syukurilah sepiring nasi yang masih bisa tersaji di depanmu.

Kata pemerintah, harga-harga naik karena harga minyak dunia naik juga. Apa hubungannya yah cabe ama minyak? Apa cabe nanemnya pake minyak? Kok semua-semua salahnya minyak: sembako naik gara-gara minyak, minyak goreng naik gara-gara minyak, tempe naik-- nggak deng, yang ini bukan karena minyak (katanya) -- trus knapa gaji gak naik yah gara-gara minyak? Bulog, apa kabarmu?

Blon lagi masalah harga, udah ada lagi masalah lainnya. Cari duit makin susah. Ada yang gak bisa melaut lagi, karena lahannya dipake perluasan, ada yang digusur karena alasan penghijauan dan tatakota, ada yang rumahnya abis dimakan banjir dan bencana lainnya, ada juga yang emang gak bisa dapet kerjaan, and so on and so forth. Kalo udah gini, mana kepikiran lagi masalah makan? Nasi sebungkus aja bisa dibagi sekampung (Lebih ngenes lagi liat korban banjir kemaren-kemaren, yang udah sampe makan nasi basi..)

Kemana dulu pemerataan pembangunan? Kemana itu pemberdayaan masyarakat? Mana yang namanya perluasan lahan kerja? (Dan kenapa gw malah makin makin emosi ngomongnya?) Mana yang namanya negara menjamin rakyatnya? Kok yang ada malah jadi mundur kayak di Euthopia, di mana ada balita meninggal karena kekurangan gizi. Kata Yovie & Nuno, "bukankah kita telah maju.. mengapa kini mundur lagi.." (lagu Aku Tak Suka Lagu Ini)

Gw emang gak pernah bisa ngerti soal sosial -- gw tidak kompeten di bidang itu. Sebabnya yah tadi, gw gak pernah ngerti pangkal masalahnya di mana, ujungnya di mana. Apalagi klo udah kena urusan politik dan lainnya. Kayak ngeliatin code yang terlanjur 'spaghetti', susah dirunutnya. Lalu solusinya apa? Apa iya bisa diatasi dengan cara-cara yang 'shallow', seperti dengan memainkan subsidi? (more over, apa itu subsidi akan sampe ke tujuan?) Apa solusinya lebih luas, dengan melibatkan lebih banyak unsur masyarakat, termasuk masyarakat itu sendiri untuk turut serta menyediakan solusinya? Yang mana yang benar? Dunno, like I said, gw gak bisa kasi solusinya. Gw cuman berharap, semua orang Indonesia bisa saling bergandengan tangan sambil nyanyi lagu Indonesia Raya -- ironisnya yang terngiang-ngiang di benak gw malah satu bagian dari lagu Semut Hitam-nya God Bless:

"Makan, makan, makaaaaaan..."

Tidak ada komentar: